Papuaaktual.com, Jambi – Geger! Dugaan pembalakan liar oleh PT WKS yang dilaporkan LSM FAAKI berujung pada skandal yang merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi diduga melakukan kesalahan fatal dengan hanya menagih ganti rugi sebesar Rp 35.591.895.904,80 tanpa memproses kasus ini secara hukum. Akibatnya, uang tersebut kini tertahan dan belum bisa disetorkan ke kas negara karena absennya putusan pengadilan yang menyatakan PT WKS bersalah!
Laporan LSM FAAKI yang mengungkap dugaan pembalakan liar dan pengelolaan hutan produksi secara ilegal oleh PT WKS seharusnya ditindaklanjuti dengan proses hukum yang transparan dan akuntabel. Namun, Kejati Jambi justru memilih jalan pintas dengan meminta Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk melakukan pengecekan lahan, kemudian menagih ganti rugi tanpa melalui jalur pengadilan. Langkah ini dinilai sebagai bentuk pembiaran dan merupakan celah hukum yang merugikan negara.
Surat Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Nomor: S.3585/Dishut/V/2014 dan surat Kejaksaan Tinggi Jambi Nomor B/1624/N.5/GPH.2/05/2014 menjadi bukti kuat atas dugaan “kelembekan” penegakan hukum ini. Direktur IPHH Kementerian LHK pun telah menegaskan dalam surat Nomor : S.351/IPHH/PNBP /PHPL.4/2/2016 bahwa dana tersebut baru dapat disetorkan ke kas negara setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Lebih mengejutkan lagi, PT WKS kini mengajukan permohonan pengembalian dana tersebut kepada Pemerintah Provinsi Jambi! Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya permainan dan kesalahan prosedur yang merugikan keuangan negara.
Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Jambi Tahun 2016 – 2022 Dana titipan gati rugi tegakan hutan tersebut saldo per 31 desember sudah mencapai Rp 43.593.031.941,30 plus Jasa bunga.
Uang negara puluhan miliar rupiah terancam melayang sia-sia akibat lemahnya penegakan hukum di Jambi.
S. Irianto Ketua Front Aktivis Anti Korupsi (FAAKI) menjelaskan apa yang menjadi dasar LSM menyatakan dugaan pembalakan liar yang dilakukan PT WKS ?
Berdasarkan instruksi presiden no 10 tahun 2011 tertanggal 20 Mei 2011, tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain (APL).
Kemudian Kepmenhut tanggal 17 Juni 2011, tentang penetapan peta induktif pemberiaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan area penggunaan lain.
“Nah, amanat moratorium izin baru dari Instruksi Presiden ini berlaku kepada seluruh perusahaan di Indonesia, tak terkecuali bagi PT WKS. PT WKS tidak punya izin untuk memperluas izin HPHTI selain dari pada addendum SK Menhut nomor 346, tertanggal 10 September 2004, dengan luas 293.812 hektare,” kata Yunianto.
Nilai kerugian yang dialami negara sangat fantastis akibat perambahan itu. Estimasinya, kayu alam rimba campuran per hektare bisa menghasilkan sekitar 150 ton kayu. Maka dalam 2.000 hektare akan menghasilkan 300 ribu ton kayu. Pada 2005, harga jual kayu ke pabrik sebesar Rp 700 ribu per ton.
“Dengan asumsi seperti itu, angka yang didapat Rp 210 miliar. Ini belum dihitung dengan kerugian negara akibat perusahaan tidak membayar dana reboisasi dan PSDH.,ungkapnya
Ketua Lsm FAAKI Meminta dengan tegas, Pihak Kejaksaan Tinggi Jambi untuk segera menuntaskan melimpahkan kasus ini..kepengadilan, mengungkap secara pidana pembalakan Liar sesuai dengan UU Kehutanan
Serta menyeret tersangka ke Pengadilan, baik pihak perusahaan maupun para pejabat pemangku kebijakan , agar perusahaan tau diri jangan seenaknya seolah menguji kejaksaan Republik Indonesia ini. Pungkasnya
Publik menuntut transparansi dan akuntabilitas dari Kejati Jambi terkait kasus ini. Apakah ada upaya untuk menutup-nutupi kasus ini? …
Pertanyaan ini perlu dijawab segera! Kasus ini menjadi tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesia dan menuntut investigasi mendalam untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Pewarta. : tholib
Redaksi. : fikiranrajat.id